DURI

Ulangi dan berkali,
Menjadi ampas di antara kisah dan kasih,
Tidak!!!
Sejatinya, itu hanya duri,
Duri yang tertidur untuk hidup dan menusuk kembali..
Aku bosan,
Bosan dengan retorika di alunan episode merah jambu,
Di ujung senja yang tak terengkuh oleh waktu,
Ah,
Palsu.

Kali ini,
Di tempat ini,
Dan hujan ini,
Aku masih begini,
Menjadikan duri sebagai senjata dalam episode pagi
Di retorika yang akan berarti,
Di warna utopia pelangi..

KARENA LANGIT CINTA TAK SELALU CERAH

Karena langit cinta tak selalu cerah
Maka dari itu aku tak menyerah
Mendurikan kristal menjadi butiran saga mega,
Untuk dalam penuh angkuh hati yang merindu,
Sejak malam tak sampaikan salam pada matahari,
Mungkin awan tak beranjak dari sudut sudut pertahanannya,
Karena tak ingin waktu memanggilnya dengan dentang keras,

Karena langit cinta tak selalu cerah,
sebab itu aku tahu ujung pena menulis ringkasan parafrase di ujung senja,
yang tak terbatahkan oleh ombak, sehingga malam sampaikan salam pada pagi,
Pada hujan yang terisakkan dan terhiburkan oleh pelangi,

Karena langit cinta tak selalu cerah
maka biarkanlah aku mengalah atas angkuhku supaya cinta hadir dengan cahaya.

KARENA MEREKA TIDAK TAHU

KARENA MEREKA TIDAK TAHU
Bismillah…
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (QS Al Israa’ : 28).
Tugasku memang belum selesai, dan takkan pernah selesai sampai ajal menjemputku. Tugasku sebagai seorang anak yang harus berbakti kepada mereka. Yah, seandainya mereka tahu bahwa aku lebih memahami arti keberbaktian itu setelah aku hijrah di manhaj salaf tentunya mereka melarangku untuk bermajelis dengan orang yang berilmu. Seandainya mereka tahu akan hal itu.
Ya, walaupun aku harus mengurungkan dulu niat mulia ku untuk menuntut ilmu din yang syar’i. walaupun aku harus berikhtilath di lembaga yang bernama kuliah. Walaupun aku harus membungkam keinginan-keinginanku dalam menjalani sunnah. Walaupun aku harus mengorbankan diriku yang memang tak sebanding dengan apa yang mereka korbankan untukku. Aku mencoba menjadi anak yang terbaik bagi mereka. Mempersembahkan cintaku kepada mereka sebagai investasi mereka yaitu mencoba menjadi anak yang sholihah. Namun, ternyata hal itu dipandang sia-sia bagi mereka, dipandang tak berguna, dan dipandang ekstrim. Yah, biarkan aku diam daripada aku harus membela diri. Namun sayang kediamanku dibilang keras. Kediamanku dikatakan membantah ucapan mereka.
Seandainya mereka tahu akan hal itu…
Ya, seandainya mereka tahu, betapa sering aku menangis karena membayangkan aku tak dapat membahagiakan mereka nantinya. Sungguh tersedak-sedak aku membunyikan tangisanku jikalau aku membayangkan itu. Namun, aku bukanlah tipe orang yang bisa dengan mudah menampakkan sayang di hadapan mereka, yang menampakkan wajah melankolis di hadapan mereka. Aku selalu berusaha menjadi kuat di hadapan mereka.
Seandainya mereka tahu akan hal itu..
Betapa indahnya manhaj yang mulia ini mengajarkan untuk berbakti kepada orangtuanya. Betapa indahnya bagaimana mengajarkan kasih sayang kepada orangtua. Betapa indahnya mengajarkan untuk tetap menaati selama tidak dalam kemaksiatan. Yah, meskipun aku memang belum bisa 100 persen menjalaninya.
Seandainya mereka tahu akan hal itu..
Di zaman yang fitnah ini, tentunya kemuliaan seorang muslim adalah bagaimana dia mendalami dan menjalani sunnah ketika banyak yang meninggalkannya. Yah, sebagaimana insan yang mulia (sholallahu’alayhi wassalam) yang memuji orang-orang asing, “berbahagialah”.
Yah, sungguh aku memang bukanlah permata yang berharga bagi mereka, mungkin hanya sebutir pasir. Aku hanyalah seorang manusia yang ingin membahagiakan mereka, tidak hanya di dunia ini namun juga di akhirat nanti. Aku ingin menjadikan mereka bahagia dan aku ingin mereka tak tahu bahwa aku telah membahagiakan mereka. Aku ingin membahagiakan mereka walaupun aku harus bersembunyi. Yah, aku tak pernah berhenti berharap agar Alloh memberikan hidayah kepada mereka untuk berdiri bersamaku agar sama-sama membela dan mengamalkan sunnah.
***

Aku membaca di sebuah layar sambil menangis..
“Mereka tidak tahu ukh.. iyaa mereka tidak tah. Karena mereka tidak tahu, makanya seperti itu.. seandainya mereka tahu, mungkin mereka ga akan menyia-nyiakan seorang anak yang berpegangteguh di jalan sunnah dan berusaha menjaga iffahnya. Seorang ana, yang mereka rasa kalau anak itu adalah anak yang tidak menuruti perkataan mereka.. padahal jauh dari pandangan itu.. sang anak berusaha sebaik mungkin untuk berbakti kepada keduanya, walaupun merelakan keinginan untuk ke ma’had, keinginan untuk bisa pakai cadar, keinginan menjauhkan diri dari ikhtilat.. itulah ujiannya.. sabar yaa ukhti fillah.. karena dakwah salaf tidak harus mendahulukan keinginan sendiri.. tetaplah berbakti kepada keduanya ukh.. karena bagaimanapun orangtua, kita harus bisa memahami mereka.. berbuat baiklah kepada ibu dan bapak.. jangan kamu berkata ‘ah’. Sungguh ukh, mumpung masih diberi kesempatan untuk bersama mereka.. maka berbaktilah.”
Dan aku tak pernah berhenti berharap agar mereka tahu suatu saat nanti..

***
Permasalahan yang sering turun naik..

EKSTRIMAN MANA DENGAN … ?

Bismillah…

Entah akan berapa kali mencap aku dengan tuduhan-tuduhan itu. Tuduhan yang membuat aku semakin tegar menghadapi ini. Tuduhan yang meyakinkanku bahwa keasingan ini hanyalah sementara. Ekstrim, lebai dan label-label lain yang selalu dilontarkan kepadaku. Ekstriman mana dengan orang-orang yang mengebom di sembarangan tempat dan mengaku itu jihad? Ekstriman mana dengan orang-orang yang berdzikir bersama-sama semalaman sehingga masuk rumah sakit? Lebaian mana dengan orang-orang yang berdemo di jalanan yang membuat kekacauan dengan dalih menyuarakan kebenaran namun nyatanya pengantar menuju pemberontakkan? Lebaian mana dengan orang-orang yang berkeliling dari rumah ke rumah selama 3 sampai 40 hari dengan alasan dakwah tapi malah menyebarkan hadits dhoif?  Lebaian mana dengan mereka yang mulutnya melaknat sahabat Rasulullah sholallahu’alayhi wassalam sehingga menuduh ummul mu’minin Aisyah radiyallahu’anhu berzina? Ekstrim siapa? Lebaian siapa? Ekstriman mana yang nyata dalam tindakan mereka ingin menyatukan agama-agama yang ada di dunia ini, mengaku Islam namun ingin menyatukan Islam dengan agama lain, ingin menyatukan yang haq dan yang bathil? Yang mana yang berlebihan.

Ketika disebutkan cadar, celana cingkrang, jenggot itu ekstrim karena sering dikenakan oleh teroris, maka apakah jika teroris itu memakai baju safari, jas, kemeja, dan memakai baju yang begitu mungil apakah akan disebutkan bahwa orang-orang itu adalah teroris? Apakah menampakkan syariat Islam pada zaman sekarang dalam berpakaian adalah ekstrim? Apakah menampakkan syariat Islam dalam berpakaian adalah lebai? Apakah karena jarang yang memakainya lantas pantas disebut ketinggalan zaman dan dengan dalih bahwa itu adalah pakaian teroris. Lantas apakah akan disebutkan bahwa Rasulullah adalah teroris? Masya’ Alloh, Apakah tak ketahui dalilnya? Baiklah akan saya tunjukkan hujjahnya dari Quran dan Sunnah,

“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka “. (Al-Ahzab: 59)

 

 “Apa saja yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di Neraka.” (HR Ahmad dan Bukhari)

 

Rasullullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda :

“Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat. Tidak dilihat dan dibesihkan (dalam dosa) serta akan mendapatkan azab yang pedih, yaitu seseorang yang melakukan isbal (musbil), pengungkit pemberian, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu.” (Hr Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah)

 

“Selisihilah orang-orang musyrikin, potonglah kumis dan biarkanlah jenggot (sebagaimana adanya tanpa dikurangi dan dipotong).” (HR. Muslim no. 600)

 

Apakah masih berdalih dengan zaman yang sudah berbeda maka engkau akan meninggalkannya? Ketahuilah, maka apakah sholat jika tidak zamannya lagi maka engkaupun akan menghalalkannya untuk meninggalkannya? Masya’ Alloh. Alangkah terlenanya dunia yang sementara ini, padahal akhirat jauh lebih besar dibanding dunia. Kita Cuma singgah di sini, untuk mengambil bekal menuju perjalanan selanjutnya.

Ketika aku tak mau berjabatan tangan dengan yang bukan mahrom, maka aku pula dituduh sebagai orang yang berlebih-lebihan dan mengada-ada. Lantas apakah pikiran dan perasaan yang mengarahkan bagaimana mestinya bertindak. Pikiran siapa yang akan dituruti karena masing-masing manusia akan menuruti pikiran sendiri, perasaan siapa yang akan dituruti karena masing-masing memiliki perasaan tersendiri. Manusia itu punya aturan untuk membebaskan diri dari hawa nafsu bukan malah menuju hawa nafsu yang akan menjerumuskan ke dalam api yang menyala-nyala. Jika engkau belum tahu atau lupa, aku akan memaparkan dalil tentangnya,

“Kepala salah seorang ditusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir 20/210 dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, lihat Ash-Shahihah no. 226)

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menguji kaum mukminat yang berhijrah kepada beliau dengan firman Allah ta’ala: “Wahai Nabi, apabila datang kepadamu wanita-wanita yang beriman untuk membaiatmu….” Sampai pada firman-Nya: “Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” Urwah berkata, “Aisyah mengatakan: ‘Siapa di antara wanita-wanita yang beriman itu mau menetapkan syarat yang disebutkan dalam ayat tersebut’.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata kepadanya, “Sungguh aku telah membaiatmu”, beliau nyatakan dengan ucapan (tanpa jabat tangan).” ‘Aisyah berkata, “Tidak, demi Allah! Tangan beliau tidak pernah sama sekali menyentuh tangan seorang wanita pun dalam pembaiatan. Tidaklah beliau membaiat mereka kecuali hanya dengan ucapan, “Sungguh aku telah membaiatmu atas hal tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 4891 dan Muslim no. 4811)

Bagaimanakah? Apakah masih menggunakan pemikiran dan perasaan untuk membantah hadits itu. Silakan bantah, silakan engkau berpegang teguh pada pendapatmu sendiri. Dan saksikanlah bahwa aku telah menyampaikannya.

Kenapa? Kenapa begitu sebenci-bencinya dengan sunnah ini? Islam memang tidak memberatkan, namun juga tak memudah-mudahkan syariat. Syariat Islam telah baku, dan Islam bukan hanya sholat, puasa, ngaji (tilawah) saja. Islam lebih dari itu menyangkut hal-hal dalam kehidupan kita. Entahlah masihkah asing dengan Islam dan segala syariatnya. Masihkah bertahan di atas tahta ego yang mendalam? Wallohu musta’an.

Ketika melihat mereka yang dzikir berjama’ah maka dikatakan bahwa mereka itu sungguh baik dalam beribadah, mereka yang mengadakan tahlilan, yasinan, ulangtahun kematian 40 hari dan sebagainya dianggap pula sebagai ajaran Islam. Yaa insan, apakah engkau tahu asal muasal itu? Apakah ada dalil yang mengatakan itu syariat Islam. Jikalau dalil hanyalah, “kata ustadz itu begini” atau “kata ustadz ini begitu” maka alangkah mirip dengan kerbau yang dicucuk hidungnya. Akan kuhadirkan dalilnya di sini dari sabdanya Rasulullah sholallahu’alayhi wassalam,

“Kasihanilah diri-diri kalian sesungguhnya kalian tidaklah meminta kepada yang tuli dan tidak hadir.” (Muttafaqun ‘alaih)

Ketika aku menjaga diri dari pergaulan bebas maka aku pula dituduh si eksklusif. Apakah tidak berpacaran itu eksklusif? Jika demikian aku rela dicap sebagai eksklusif. Begitu banyak kerusakan yang disebabkan karena pacaran. Begitu sering aku mendengar yang pacaran terjerumus MBA (Married by Accident). Begitu sering aku mendengar ada yang bunuh diri karena diputuskan oleh sang kekasih. Benarkah pacaran adalah jalan mendapatkan jodoh? Jika memang demikian kenapa banyak yang mendapatkan jodoh namun mereka tak pacaran. Wahai, jodoh kita telah dituliskan namanya di lauhul mahfuz. Namun yang mesti diperhatikan adalah bagaimana engkau menjemput jodohmu itu? Jalan yang benarkah atau jalan yang burukkah?

“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnah wanita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Ya, karena aku takut menjadi fitnah yang akan mengantarkan aku menuju kerusakkan dan akhirnya mengakibatkan aku berada di lembah neraka, maka aku harus menjaga diri dan kehormatanku. Aku ingin menjadi wanita sholihah. Aku takut ketika aku adalah salah satu dari kebanyakkan penghuni neraka yang wanita. Sebagaimana sabda Rasulullah sholallahu’alayhi wassalam,

“Wahai sekalian kaum wanita, bershadaqahlah! Karena aku melihat bahwa kalianlah orang terbanyak yang menghuni neraka (selanjutnya ditulis: An-Naar). (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 304 dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu)

Apalagi? Apalagi yang dirasakan asing terhadap apa yang aku lakukan? Apalagi yang serasa asing di mata kebanyakkan orang? Ketika dikatakan, “Biasa sajalah, tak usah berlebihan”, maka aku jawab apakah berlebihan ketika aku menegakkan sunnah yang telah diwasiatkan kepada ummatnya sampai hari kiamat?

“Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kalian, tetapi mayoritas dari kalian membenci kebenaran itu.” (Az-Zukhruf: 78)

Inilah jalan itu? Jalan yang terang. Jalan yang mempunyai dasar dari Quran, Sunnah, dan pemahaman para sahabat. Jangan dipungkiri. Janganlah dibenci. Jika engkau membenci berarti engkau turut menyumbangkan kebencian terhadap Islam dan membuat kafir tersenyum senang padamu. Wahai jiwa, semoga Alloh menunjukki hidayah dan memberi ampunan padamu juga padaku. Allohu musta’an.

 

***

Di saat dia membujuk orang yang kusayangi untuk melarangku di jalan sunnah..

Balada Cahaya dan Seorang Gadis…

Bismillah..
Gadis itu menerawang di cakrawala,
Mencoba berdialog di antara pikiran dan hati,
Senyum menjadi semakin sepi,
Di kala untaian harap seolah pergi,
Di antara buih yang ia pandang, ia melihat ke ujung samudera,
Yah, setidaknya hanya itu menjadikannya tenang untuk berapa saat.
Sesudah itu pikirannya menyerang,
Kronis…
Miris…
“Apakah semua harus seperti ini? Mengapa? Persetan dengan semuanya”
Begitulah lontaran di hatinya.
Lagi, dia pandangi biru langit
Supaya dia lihat apa ada jawabnya di sana?
Kosong.
Tak ada tanda jawaban di sana.
Dia pulang.
Berharap esok tak ada lagi pikiran yang belum ada jawabnya.
***
“Sesuatu?” lirih dia mengulang kata itu.
Dia mencoba untuk tersenyum walaupun kaku,
Sembari mengantarkan diri di bait doanya,
Di kala mendung itu semakin memburukkan semua pikirannya,
Ada cahaya yang terselip,
Matanya tersilau namun bukan menutupi cahaya itu,
Tetap dia pandang,
Tetap dia amati,
Karena baginya begitu merugi ketika cahaya itu terlewati begitu saja,
Bukankah cahaya itu yang mengungkap semua jawaban di ujung penantian?
Yah, kembali dialognya bertebaran di antara bimbang.
Tik.
Tik.
Tik.
“Aku tak ingin mengulur waktu lagi.” Lirihnya.
***
Gadis itu menatapi langit biru,
Meneropong ujung samudera,
Bermain dengan tarian ombak,
Menjengkali tiap butiran pasir,
Dan senyum terkembang di kala riang terbayang,
Hatinya berkata, “Selamat datang cahaya, kusambut dirimu dengan bismillah.”

13 Ramadhan 1432 H
12 Agustus ‘11

CATATAN LAMA

Bismillah…

 

Aku ingin menjadi asing,

dimana mereka menganggapku aneh dengan pakaianku,

dimana mereka menganggapku bergabung dengan sekte sesat,

dimana mereka menganggapku sok suci dengan tidak menanggapi tangan mereka.

 

Aku ingin menjadi asing,

biarkan stigma itu terus mengejarku,

karena aku tak peduli,

kulebih memilih jalan ini biarkan aku dianggap asing,

karena bersama Allah yang lebih kuinginkan dibanding mengikuti mereka.

 

Biarkan memilih dipenjara oleh keasingan,

seperti Yusuf yang lebih memilih dirinya dipenjara darpada memenuhi ajakan Zulaikha.

“Ya Allah aku lebih memilih penjara daripada memenuhi ajakan mereka”

 

Biarkan aku memilih berhijrah,

layaknya para sahabat yang melakukan perjalan jauh menuju munawaroh,

meskipun kampung halaman yang tercinta mereka tinggalkan.

 

Biarkanlah aku memilih jalan asing,

 karena aku yakin Allah bersamaku

(Ghurabaa’ atau Gerobak oleh Pasukan Ghuraba’ Menuju Syahid)

***

 

Itu barisan yang kuciptakan ketika dulu sekali..entah, atas dasar apa aku menciptakan tulisan itu..Yah, dulu sebelum aku berada di manhaj ini aku menuliskan bait-bait ini, yang aku tak paham apa itu asing, apa itu alghuraba’, dan apa itu salafy.. Aku hanya menuliskan saja dulu, tulis berdasarkan apa yang ada dipikiranku…Mengalir saja..Sekarang, aku membaca arsip tulisan lamaku, aku menemukan bait2 itu yang sungguh tak kusangka bahwa aku pernah menuliskan ini..Tulisan itu? Ah, masa itu? Ah, Dunia itu? Segalanya prosesku..Membuat aku tersenyum.. Alhamdulillah, Alloh menunjukiku jalan ini, jalan yang pernah aku sebutkan aku tulisan itu.. Jalan yang asing..Maka, benarlah sabda Rasulullah sholallahu’alayhi wassalam,

“Berbahagialah orang-orang yang asing (al-ghuraba’)” (HR Muslim dan HR Ahmad)..

(Iffah al Fahima)

Allohua’lam..

Yang Aku Rindukan, Welcome…

Bismillahirohmanirrohim…
Engkau akan datang lagi ternyata. Aku memang sedang menantikanmu. Yah, aku tahu engkau membawa bekal yang banyak untukku. Apa? Ada persyaratannya? Ah, mengapa engkau bilang ada persyaratan? Bukankah aku sangat menantikan kedatanganmu? Bukankah itu telah cukup bagiku untuk mendapatkan apa yang engkau bawa untukku? Memang aku tahu persyaratan itu, dan aku akan mencoba untuk memenuhi persyaratan itu, insya’ Alloh. Dan aku harus jujur bahwa aku sangat merindukanmu. Sudah satu tahun aku tak bertemu dengamu. Terakhir kali bertemu denganmu oleh-oleh yang engkau berikah sungguh membuat aku terharu sehingga tangisan itu melebur di pipiku. Yah, tahun kemarin adalah di mana aku pertama kali merasakan manisnya manhaj ini sekaligus dimana konsekuensinya diasingkan. Namun, entahlah itu menyurutkan langkahku. Justru aku senang dimana engkau tetap memberikan semangat dengan berkahmu yang sangat banyak yang diberikan Allah padamu untuk dibagikan pada ummat Muhammad sholallahu’alayhi wassalam.
Ini adalah tahun kedua aku akan bertemu denganmu di atas manhaj salaf ini. Sungguh, jika dipilih satu saja anugrah yang indah yang pernah dirasakan setelah aku dilahirkan sebagai seorang muslim, maka aku akan memilih bahwa anugrah yang paling indah itu adalah hidayah bagiku untuk meniti jalan para salafush sholeh. Sungguh bagiku itu sangat mahal karena kebanyakkan orang tidak mengetahui mutiara ini. Meskipun terkadang pertentangan di antara orang-orang yang kusayangi itu ada. Aku senang engkau hadir sebagai pelipur laraku di saat itu. Sekarangpun engkau akan menyediakan tempat seluas-luasnya bagimu di hatiku, insya’ Alloh. Dan kau tahu, aku sangat merindumu.
Aku banyak membaca tentangmu untuk mempersiapkan kedatanganmu. Yah, mungkin aku agak sedikit sok berilmu sekarang, namun lebih baik begitu daripada aku tak tahu apa-apa dalam menyambutmu. Ternyata, banyak yang belum aku tahu tentangmu. Sehingga dulu seringkali aku terjebak dalam hal-hal yang seolah-olah disyariatkan namun nyatanya tidak. Ah, malu juga aku mengingat itu. Namun satu yang tak pernah berubah, aku selalu merindukan kedatanganmu, baik dulu, sekarang, dan nanti. Insya’ Alloh.
Aku tahu engkau spesial, bahkan sangat spesial. Dulu, aku menganggapmu spesial karena masa kanakku yang bermain bersama teman-temanku pada saat tarawih. Menjadikan tarawih sebagai mainan. Pura-pura sholat namun ternyata tidak. Atau saat di akhir-akhir kebersamaan denganmu malah makan-makan kue buatan untuk lebaran di shaf belakang. Atau juga dengan petasan dan kembang api saat yang lain sedang shalat tarawih. Ya, itulah masa kanakku dalam merindukanmu. Lain lagi dalam masa remajaku, berbincang ria saat di sela antar tarawih satu yang akan berlanjut tarawih berikutnya. Yah, apakah itu yang kurindukan? Baik dulu maupun sekarang sejatinya bukan karena itu yang membuatku merindukanmu. Namun sesuatu. Sesuatu yang entah aku tak tahu mengatakan apa. Sesuatu yang membuat hati ini menjadi begitu terharu jika menghayatinya. Apakah karena keberkahanmu? Mungkin iya sehingga sampai saat ini rindu itu tetap ada.
Tahun ini, aku tak ingin menyia-nyiakan mu. Aku ingin mendapatkan doorprize yang ada padamu. Hehm, jika engkau menganggap bahwa aku hanya ingin menginginkan hadiah atau doorprize saja, bukan itu saja. Bahkan aku sungguh suka semua yang padamu. Karena amalan sholeh itu menjadi lipatan-lipatan pahala bagiku yang akan menemaniku nanti di kala aku sendiri di alam kubur. Sehingga nanti pintu Ar-Royan bersedia terbuka untukku. Hehm, bisakah? Aku akan mencoba semampuku.
Dalam hitungan hari ini aku menunggumu datang karena aku merindukanmu. Ah, begitu banyak yang tak bisa kuungkapkan untuk kehadiranmu ini. Aku tak tahu masih adakah bagiku untuk bertemu pada tahun berikutnya? Ah, itu rahasia Alloh. Sehingga aku akan menghidupkanmu di hatiku ini sebagai seorang yang ingin menjejaki jalan salafush sholeh.
Selamat datang kembali Ramadhan, kutunggu engkau di pintu penantianku sembari tersenyum dan mengharapkan kemuliaanmu. Welcome, semoga rindu ini meluap saat aku menjalani puasa bersamamu dan segenap peluang amal yang disyariatkan..
(Pada H-4 sebelum Ramadhan datang)
Allahua’lam..

LOVE AT THE FIRST EXPERIENCE..

Bismillahirohmanirrohim..

Subhanallah, pengalaman yang biasa aku alami di dunia mimpi sekarang aku usahakan untuk aku alami di dunia nyata. Ya, dengan “Bismillah” aku memulai untuk mengenakannya. Aku memang belum mendapatkan izin dari keluargaku. Aku masih sembunyi-sembunyi. Aku tahu memang tak baik untuk menyembunyikan ini. Namun aku ingin belajar bagaimana untuk mengenakannya. Yah, mungkin inilah kemampuanku. Inilah yang aku bisa. Meskipun untuk di tempat tertentu saja.

Niqob. Yah, sesuatu yang telah lama aku ingin mengenakannya. Sesuatu yang sungguh subhanallah menjaga izzah seorang muslimah. Sesuatu yang mengingatkan aku pada sebaik-baik zaman. Yah, ingin rasanya merasakan bagaimana situasi zaman itu dengan mengenakan ini. Sehingga tadi siang aku keluar rumah seperti biasa dengan kuda beroda duaku dan berbekal tas yang berisikan sebuah niqob berwarna hitam. Aku menuju bersama temanku ke sebuah rumah seorang ustadz untuk berbicara sesuatu dengan istri ustadz itu. Sebelum menuju ke sana, aku dan temanku berhenti di tempat yang agak sepi untuk memakainya. Awalnya, aku kagok dan deg-deg an dengan perasaan bagaimana kalo orang lain melihatku. Namun, aku luruskan niatku. Aku berdoa semoga niat ini selalu lurus karena Alloh. Yah, sehingga apapun kata orang, bagaimanapun itu meskipun dibilang lepas pakai, meskipun dibilang a atau b, aku tak peduli. Niatku aku ingin belajar dan mengenakan sesuai dengan kemampuanku.

Ketika aku mengenakannya, subhanallah kenapa nyaman seperti ini. Kenapa rasanya sungguh berbeda. Kenapa rasanya ah sungguh aku tak bisa mengungkapkannya. Bagiku ini begitu indah. Yah, aku merasa ‘terjaga’ dengan niqob ini. Ingin rasanya aku menggunakan secara kontinu. Ingin rasanya istiqomah dengan ini sehingga tidak lepas pakai, dan tidak hanya pada kondisi tertentu saja. ya, insya’ Alloh some day. Insya’ Alloh suatu saat nanti. Aamiin.

Ketika pulang dari rumah ustadz, aku dan temanku sempat mengunjungi sebuah tempat perbelanjaan. Yah, aku telah siap mental untuk pandangan orang-orang terhadap kami. Pandangan orang-orang tak berarti dengan kebahagiaanku hari ini. Sungguh, aku ikhlas karena Alloh sehingga anggapan itu hanya angin lalu bagiku. Inginnya aku bertahan. Ingin sekaliiiiiiiiiiiiiiiii. Ya Rabb, izinkanlah aku..

Ketika pulang tak mungkin aku biarkan niqob ini kukenakan. Karena belum adanya izin dari orangtuaku. Yah, dengan cara berhenti di suatu tempat aku lepaskan niqob ini dengan berat hati. Rasanya aku ingin menangis. Menangis berpisah dengannya. Seolah-olah aku berpisah dengan sahabat dekatku sendiri. Dan mungkin dia ingin mengatakan kepadaku, “tenanglah, insya’ Alloh kita akan bertemu lagi”. Ketika melepaskannya, aku rasa semuanya menjadi aneh. Yah aneh dengan terbukanya wajah ini. Faghfirli Rabb.

Rabb, mungkin inilah kemampuanku. Yah, perkara ini memang rumit. Namun aku percaya janji-Mu Rabb. Permudahkan jalanku ini. Dan istiqomahkan aku di atas jalan kebenaran.

Allohua’lam.

REFLEKSI SATU TAHUN

Bismillahirohmanirrohim…

Hampir satu tahun aku berada di sini. Sungguh, aku merasakan kesamaran telah hilang berganti sesuatu yang sangat jelas seterang matahari di siang bolong. Perlahan dan perlahan tabir keraguan mulai hilang. Dan aku telah menetapkan jalannya di antara banyaknya jalan. Satu saja.

Setahun ini di atas pencarian jati diri ini, aku menemukan ketenangan. Karena semua yang jelas. Karena semua telah berdasar pada pegangan yang kokoh. Walaupun aku sadari banyak dan terlalu banyak rintangan yang menghampiri sejak mulanya sampai kini. Namun, Alloh jualah tempat ku bergantung. Hal ini tak seberapa, bahkan mungkin masih bisa disebut dengan sebelah mata. Ujian ini memang berat menurut perspektifku, namun begitu kecil di mata Alloh. Bukankah ujian itu adalah sebagai syarat untuk penseleksian siapa yang beriman dan bertakwa?

Setahun ini, awal mula yang banyak kuragukan sedikit demi sedikit hilang. Yah, aku percaya sesuatu yang penting dan sangat penting tentang firqotun najiyah itu adalah sesuatu yang jelas. Sesuatu yang tak mungkin ditinggalkan begitu saja secara samar. Sesuatu yang di sana ada dasar yang juga jelas. Biarkanlah zaman mau berkata apa? Biarkanlah zaman mau mengatakan aku kuno dengan meneladani orang-orang terdahulu, namun zaman juga akan tahu bahwa menuntut untuk mengikuti zaman adalah kesiaan belaka. Karena dunia itu terlaknat, begitulah sabda Rasulullah sholallahu’alayhi wassalam. Aku bersyukur hidayah itu sampai padaku.

Setahun ini, keasingan itu telah aku rasakan. Penolakan itupun juga aku rasakan. Namun sungguh, aku tak peduli. Aku akan memegang bara api ini, meskipun luka bakar memenuhi tangan ini. Aku tetap kan berpegang. Aku punya landasan yang jelas, makna jelas, dan maksud yang jelas. Sungguh, berbahagialah orang-orang yang asing, yang tetap menghidupkan sunnah di kala yang lain menghidupkan bid’ah.

Di sini, aku telah memilih dan cukup satu saja. Di atas aqidah dan manhaj yang haq. Di atas Kitabullah wa Sunnah dan pemahaman para Salafush Sholih, insya’ Alloh..

Allohua’lam bishowab.

PERJALANAN HIJRAHKU, SEMOGA ISTIQOMAH

Bismillahirohmanirrohim…

Salafi? Tak pernah terpikir dahulu saya akan hijrah ke manhaj itu. Awalnya aku menganggap bahwa Salafi adalah sebuah harokah sama seperti harokah lainnya. Hehm untuk harokah itu sendiri aku mengetahuinya sejak aku lulus SMA, atau lebih tepatnya ketika aku memasuki bangku perkuliahan. Sungguh sejak aku mengenal dunia perharokahan atau lebih dikenal dengan istilah pergerakkan Islami, aku merasa heran dengan berbilangnya Islam yang seperti ini. Mengapa begini dan mengapa begitu. Bingung? Jelas itu pasti. Aku bingung. Sehingga aku memutuskan abstain dari semua harokah. Aku mengenal harokah dari seorang akhwat yang mengabarkan kepadaku bahwa seorang temannya yang ikhwan adalah jama’ah HTI alias Hizbut Tahrir Indonesia.

“Kenapa memangnya dengan HT? Apa salahnya HT. Toh kan masih Islam? Trus kita ini harokahnya apa? Memangnya apa saja jenis harokah?” tanyaku dengan akhwat itu.

“Yah memang HT masih Islam. Mereka ga pake demokrasian. Mereka menghina PKS. Apalagi ikhwan itu mengirim sebuah artikel mengenai keburukan-keburukan PKS. Kita ini termasuk dalam lingkup PKS. Jenis harokah banyak. Ada JT (Jama’ah Tabligh) yang sering datang ke masjid-masjid, ada JIL (Jaringan Islam Liberal) yang sesat itu, ada HT (Hizbut Tahrir), ada IM (ikhwanul Muslimin) yang kalo di Indonesia itu PKS, ada Salafi yang biasanya akhwatnya bercadar.” Katanya menerangkan.

Dalam hati aku tak ingin dikatakan aku ini bagian dari harokah tertentu. Namun aku tetap mengangguk-angguk saat dia menjelaskan tentang itu. Aku memang sejak SMA telah aktif di kegiatan Rohis Sekolah yang notabenenya pementornya adalah dari kader PKS. Dan tak pernah sedikitpun membahas masalah pergerakkan Islam pada saat Kajian Mingguan (KM). Sejak tamat SMA aku mengikuti liqo’ yang dulunya aku tahu free dari harokah, ternyata tidak. Itu termasuk bagian lingkup kepartaian (PKS). Walaupun aku mengaji di PKS (tarbiyah) aku tak ingin dibilang aku adalah harokah PKS atau IM. Aku tetap mengatakan bahwa aku independe dari harokah. Yah, aku juga tetap mengikuti kegiatan-kegiatan partai. Karena memang kebanyakkan kegiatan berasal dari partai itu.

Aku menarik dua harokah saja yang menjadi pusat perhatianku karena terdapat perbedaan yang sangat mencolok mengenai perpolitikkan, HT dan IM alias PKS. Aku mulai mencari dan bertanya tentang inti gerakkan dan perjuangannya. Kenapa HT mengatakan Demokrasi itu haram? Dari pertanyaan itu aku menganalisa dan mencerna artikel-artikel mengenai demokrasi. Dari sumber kedua belah pihak aku menganalisanya. Dengan objektif tentunya berdasarkan dalil-dalil dari Quran dan Sunnah. Sehingga pada akhirnya aku pun menarik kesimpulan bahwa Demokrasi itu Haram. Alhamdulillah. Dan aku mulai tertarik ke pemikiran HT. karena apa yang dibahas di HT itu lebih ilmiah dan kritis. Namun aku tetap mengaji di PKS. Yah pada saat itu ingin juga aku mengaji di HT, namun tak aku dapati pengajian HT di kampusku. Sehingga pemikiran HT lebih banyak kutemui di dunia maya dan blog-blog.

Sampai sini sajakah? Tidak. Dari dunia blog aku mengenal orang-orang yang begitu semangat menggaungkan Jihad, jihad, dan jihad. Yah, aku mencoba mengenal mereka dari tulisan-tulisan yang dipaparkan mereka dicampur dengan realita-realita dan perjuangan-perjuangan “jihad” yang dulu sempat membuatku haru bercampur marah. Orang-orang yang aku kenal ini pun juga mengharamkan demokrasi. Namun mereka bukanlah HT. mereka mengakui bahwa mereka adalah Salafi Jihadi yang landasannya adalah Tauhid dan Jihad. Mereka pun mengkafirkan pemerintah. Sempat pula aku terpengaruh oleh pemikiran ini. Aku berkenalan dengan seorang akhowat dari pergerakkan ini. Sebut saja namanya Kak Hawa Kenapa aku tertarik untuk berkenalan dengan akhowat ini? Karena dia memakai cadar. Yah, daridulu aku memang tertarik untuk mengenal lebih jauh bagaimana seorang akhwat bercadar menjalani kehidupannya. Yah sama seperti biasalah. Hehm bukan itu. Aku membaca kisahnya yang menggugah bagaimana perjalanan dia memakai cadar itu. Bagiku mengharukan. Di saat yang lain begitu mudah membuka auratnya. Maka dia menjaga iffahnya dari pandangan liar laki-laki. Yah, itu yang membuat aku takjub. Sampai suatu malam aku bermimpi, aku mengenakan cadar warna hitam. Ketika terbangun aku kecewa itu hanyalah mimpi. Pada saat di kampus, entah kenapa aku ingin menangis. Menangis melihat diriku. Dan keinginan itu menjadi kuat. Yah keinginan untuk mengenakan niqob alias cadar. Aku mengutarakan itu dengan Kak Hawa. Kak Hawa bilang, “Itu hidayah dek.”

Yah, sejak itu aku mencari artikel-artikel mengenai cadar. Ada hukumny wajib dan ada yang sunnah. Aku terus mendalami sambil terkadang menangis saat membaca kisah-kisah mujahidah yang mengenakan cadar. Oh ya aku juga punya kenalan yang banyak memakai cadar di Bogor, Pemalang dan Yogya. Aku meminta tips dari mereka bagaimana caranya agar orangtua mengizinkan agar anaknya bercadar. Merekapun memberikan tips yang beragam. Huhf, ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Orangtuaku tetap tidak mengizinkan. Cukup sampai di sini pembahasan mengenai cadar.

Dari cadar aku ingin menetapkan dari keabstainanku terhadap harokah kepada satu saja. Yah, pemilihan ini sangat sulit. Aku bahkan harus memilih kandidat-kandidar dari semua harokah untuk mengajak berdiskusi. Dari PKS, aku telah banyak berdiskusi dari pementorku pada saat SMA, murabbiku, juga teman blog di Bogor. Dari HT, teman facebook dari Kendari dan Jakarta. Dari Jihadi teman-teman di blog juga Kak Hawa. Dari salafi, ah entahlah aku kurang tertarik terhadap manhaj satu ini dikarenakan ketidakjelasan manhaj ini. Dari semua harokah itu, yang menghalalkan demokrasi adalah PKS maka kudelet PKS draft yang ingin kupilih. Sekarang tinggal HT dan Jihadi. Keduanya memang mirip bahkan sangat mirip, namun aku cenderung ke Jihadi. Suatu malam aku menanyakan kepada seseorang,

“Aku mau hijrah ke Jihadi. Dirimu harokahnya apa?”

“Ana di antara dua. Salafi dan Jihadi.”

“Memang beda keduanya apa?”

“Jihadi ya lebih ke Jihad. Namun Salafi ke tauhid. Ana menetralisir di antara keduanya.”

“Memang keduanya bertentangan ya?”

“Iya. Yang satu mengkafirkan pemerintah dan yang salafi tidak.”

“Kenapa gitu ya? Heran juga. Katanya sama-sama salafi? Ada saran ga untuk ana?”

“Yah maka dari itu ana menetralisir antara keduanya. Saran ana anti ikut kajian Salafi aja dulu. Nanti kalo ana dapat berita tentang kajian Jihadi di daerah anti. Ana kasih tahu.”

Begitulah awalnya. Aku mencari kajian Salafi di daerahku. Aku berburu dengan menanyakan kepada teman-temanku. Juga mencari-cari di internet mengenai Salafi. Hehm, sebenarnya aku ingin lebih banyak berkenalan dengan akhwat bercadar di daerahku. Namun, dengan izin Allah aku belum menemukan kajian Salafi di daerahku. Hingga suatu hari, aku diajak ke Jakarta dan bertemu dengan Kak Hawa (Alhamdulillah Kak Hawa pun telah menetap pada satu manhaj yaitu Salafi). Singkat saja pertemuan itu. Namun begitu mendalam bagiku. Ketika pulang, aku merenung dalam perjalanan, tentang hidupku. Yah, aku harus banyak mencari ilmu. Sesampainya di Bengkulu, perlahan-lahan aku mulai mundur dari kegiatan-kegiatan di kampus, aku mulai mengumpulkan buku-buku elektronik bermanhaj Salafi. Aku juga jarang datang ke Liqo’. Dan aku juga banyak menambah teman-teman di facebook akhwat-akhwat bermanhaj Salafi. Dan hal yang mengejutkan aku pula, banyak teman-teman friendsterku (masa SMA) hijrah ke Salafi. Dari sana aku mencoba lebih dekat dengan Salafi. Sungguh ilmu yang dipelajari lebih ilmiah dan banyak memaparkan dari Al-Quran dan Sunnah. Namun, ada syubhat yang dulu belum terjawab yaitu Para Salafiyun itu juga mengharamkan demokrasi namun mereka menaati pemerintah. Bukankah suatu yang aneh. Itu pikirku dulu. Yah, sehingga aku masih mengadopsi sedikit pemahaman Jihadi.  Syubhat itu terjawab sekarang, menaati selama tidak dalam kemaksiatan.

Pada suatu hari aku mengatakan niatan untuk hijrah itu kepada sahabatku yang dulu memperkenalkan aku dengan penjelasan harokah. Yah, sekarang aku pahami bahwa Salafi bukan harokah. Nampak kekecewaan di guratan wajahnya.

“Coba anti pikirkan matang-matang. Takutnya anti malah futur”

“Insya’ Alloh ukh ana yakin. Ana ingin hijrah. Apapun konsekuensinya ana akan terima.”

“Yah kalau misalkan itu keputusan anti. Ana terima. Walaupun kita bukan satu jama’ah lagi.”

Aku tersenyum miris pada saat itu. Dan aku juga memberitahukan kepada salah seorang teman satu liqo’ku. Dan dia juga mengatakan supaya aku pikir-pikir dulu. Aku sudah mantap. Toh telah sejak lama rohku tak berada dalam naungan tarbiyah. Hanya fisikku saja yang berada dalam lingkup PKS.

Dalam sebuah walimah, aku bertemu dengan seorang akhwat yang sekarang kami berjuang bersama. Akhwat itu adalah seorang adik mentorku di sebuah SMA. Satu tahun di bawahku. Dia dalam tahapn untuk memasuki perkuliahan. Sebut saja namanya Fathimah. Dia tidak lulus SNMPTN, dan berencana melanjutkan ke ma’had. Aku menanyakan padanya.

“Ma’had mana?”

“Di Ciamis” langsung aku teringat pada temanku yang berada di ma’had Salafi di Ciamis.

“Ma’had Salafi ya?”

“Iya dung. Ma’had ahlus sunnah wal jama’ah”.

Selang beberapa minggu, aku bertemu secara tak sengaja dengannya di sebuah tempat. Aku telah mencium bahwa dia sama sepertiku; dia ingin hijrah. Sehingga aku berani mengungkapkan padanya bahwa aku ingin hijrah. Dan ternyata dia menjawab,

“Sama mbak. Ana juga ingin hijrah. Ana ingin nangis mbak. Selama ini ana dibodohi. Mengapa mereka menyembunyikan ilmu-ilmu yang belum ana dapatkan.”

“Iya dek. Mbak juga.”

Dia bercerita bahwa gagal ke ma’had karena tidak diizinkan dengan orangtuanya. Dia juga bercerita akan mengunjungi rumah ustadz Salafi di suatu tempat dengan seorang akhwat yang ana juga kenal namanya mbak Alfiah. Dia adalah Kakak perempuan dari temanku di SMA dulu. Ah, aku tak menyangka ternyata dia Salafi sejak lama. Fathimah menawarkanku untuk ikut, akupun mengangguk. Aku juga mengajaknya untuk ikut kajian Salafi yang alamatnya aku dapatkan dari temanku. Diapun juga mengiyakan.

Aku masih belum mengatakan hal ini kepada murabbiku. Yah, aku menunggu saat yang tepat. Saat ketika aku telah datang pada majelis ilmu. Saat itu, aku ingat tanggalnya 10 Oktober 2010. Saat aku pertamakali datang ke majelis ilmu bertiga di kost teman. Ustadznya mengisi via telepon. Yah, aku mendapatkan ilmu yang sungguh berbeda dengan yang kudapatkan sebelumnya. Temanku mengatakan tentang kajian ilmu yang aku anggap sebagai Salafi. Ternyata itu bukan Salafi. Sehingga lebih baik aku tak datang daripada syubhat yang kuterima.

Hingga suatu saat, aku harus mengatakan kepada murabbiku bahwa diriku ingin hijrah. Awalnya ingin aku datang langsung mengungkapkan itu. Namun, beliau terlalu sibuk sehingga tak bisa datang untuk meliqo’. Dan jadilah aku mengungkapkan via sms aku berhenti liqo dan ingin hijrah ke salafi. Tak ada balasan. Hanya selang beberapa hari beliau mengatakan, “jazakillah khoyr”. Aku tak ingin memperpanjang.

Salah satu teman liqo’ku langsung memberikan info tentang sikap murabbi itu terhadapku. Dalam majelis liqo’ itu ternyata kepindahanku diumumkan di depan teman-temanku. Wejangannya terhadap teman-temanku adalah, “Salafi itu bagus. Hanya saja mereka terlalu kaku, masa wanita aja disuruh dirumah terus dan ga boleh kerja. Takutnya nanti si Gita itu ga kuat dan malah berbalik 180 derajat”. Itu benturan pertama yang aku rasakan. Kecewa? Jelas aku sangat kecewa. Namun itu menjadi penyemangatku agar istiqomah di manhaj ini. Benturan selanjutnya adalah ketika sahabatku dikonfirmasi oleh murabbiku alasan kehijrahanku. Dan semua amanah yang aku punya di dakwah kampus maupun dakwah sekolah dicabut. Karena katanya itu sudah aturan kepartaian. Aku mencium bau kelicikkan di sini. Ternyata begitu asas mereka. Mereka menguasai semua lini sekolah dan kampus. Dan tak boleh seorang penyusupun menggunakan sekolah dan kampus untuk berdakwah. Alhamdulillah hatiku tak terlalu tertambat dalam lingkup yang bernama tarbiyah atau pks sebelum maupun sesudah. Sehingga Alloh memberikan aku hidayah yang sungguh berharga yang membuka mata hatiku.

Aku diasingkan. Dengan teman-teman seorganisasiku. Aku juga keluar dari lingkup keorganisasian KAMMI sampai aku didebat oleh koordinatorku sendiri. Namun aku tak memutuskan silaturahim. Aku tetap tersenyum, meskipun ada di antara mereka yang membuang muka terhadapku. Biarlah. Aku tak peduli. Biarkanlah aku asing di dunia namun tak asing di akhirat nanti. Biarkanlah mereka memboikotku namun pendirianku tetap kuat. Sampai-sampai kedua sahabatku juga terasa asing bagiku. Mereka bersikap lain. Tak seperti biasanya. Hingga suatu saat aku mengatakan kepada sahabatku, mengapa terasa jauh? Ternyata alasannya kepindahanku, berbeda jama’ah, juga dia memintaku untuk kembali. Tidak. Aku tetap akan meniti jalan yang telah ditunjukkan oleh sabda Rasulullah. Insya’ Alloh.

Sedikit demi sedikit pemikiran jihadi di diriku menghilang. Yah, aku mulai memahami mengapa Salafi bersikap demikian. Karena satu alasan hujjah dari Alloh dan Rasul-Nya serta pemahaman para Salafush Sholeh. Tidak seperti apa yang dikatak oleh orang-orang yang membenci Salafi dan menganggap bahwa mereka adalah antek-antek Yahudi. Bagaimana mungkin orang yang memurnikan Islam dan mengembalikan pada apa yang Alloh dan Rasulullah perintahkan dituduh sebagai antek-antek Yahudi. Ya begitulah pikirku.

Dan perlahan-lahan aku mulai paham dengan manhaj ini. Sungguh, pertanyaan yang dulu sering aku lontarkan terjawab ketika aku berada di manhaj ini. Ilmu yang tak pernah aku dapatkan pada sebelumnya. Dam satu hal, Salafi memang bukan harokah namun Salafi adalah manhaj murni yaitu cara bagaimana kita memahami Islam sesuai dengan Quran dan Sunnah serta pemahaman dari para Salafush Sholeh (sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in). Bukankah banyak yang memahami Islam namun caranya tak benar, menganggap Islam hanya sebuah identitas yang tertera di KTP atau Islam menghendaki pemberontakkan, atau Islam menginginkan kekuasaan. Namun satu yang pasti inti Islam adalah TAUHID. Dan berbilangnya jama’ah adalah karena kebid’ahan-kebid’ahan. Yah, karena tak patuh terhadap dalil sehingga menuruti apa katanya sendiri. Jika Salafi dikatakan sebuah jama’ah atau kelompok. Siapa ketuanya, siapa amirnya? Tidak ada. Karena ini adalah murni dari Rasulullah. Tidak seperti harokah yang berdasarkan pemikiran seseorang dan diketuai oleh seseorang yang dipuja secara berlebihan. Bukankah Rasulullah melarang untuk tidak berkelompok-kelompok dan tetap pada apa yang Alloh dan Rasulullah perintahkan?

Aku tak peduli apa kata orang tentang manhaj ini. Sesungguhnya telah jelas mana kebenaran dan mana kebatilan. Tak mungkin Alloh dan Rasul-Nya tak menunjukkan jalan yang terang dan jelas. Tentu ada sebuah kebeneran yang begitu terang seterang matahari di siang bolong. Yah, inilah manhaj yang haq, Manhaj Salafi alias Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Alhamdulillahi robbil ‘alamin.

Allohua’lam.